Bundaran Besar

Bundaran Besar (dok. Web)

Sebuah kota memerlukan landmark  -pertanda, juga kebanggaan. Palangka Raya, selama puluhan tahun memiliki “Bundaran Besar” sebuah landmark kota yang berisi dan mencerminkan nilai-nilai  historis negara kita –seperti jari-jari bundaran sepanjang 45 meter yang diambil dari “1945.”

Baca juga: Digunakan Kejuaraan Balap Sepeda Gubernur Kalteng Cup Road Race, Sejumlah Jalan di Palangka Raya Ditutup

Provinsi Kalimantan Tengah lahir dari semangat warga untuk bersatu dengan negara kesatuan Indonesia. Dan tidak salah pula jika Presiden Soekarno, yang meresmikan pembangunan Palangka Raya pada 17 Juli 1957–tugu peringatannya berdiri di pinggir Sungai Kahayan- pernah menginginkan Palangka Raya (yang bermakna “sebuah tempat tinggal yang besar”) menjadi ibu kota NKRI.

Dan Bundaran Besar itu kini  dipugar.

Tidak ada yang abadi di bawah langit. Bundaran Besar, dengan patung dan ornamen –pramuka, perawat,  prajurit dll- selama berpuluh tahun menjadi sentra pandangan bundaran. Tentu pada awalnya ia memikat, tentu pada awalnya ia terlihat heroik. Kota yang sepi dengan patung menyembul seperti dari dalam telaga, pada tahun-tahun itu,  menjadi penyemangat warga –selain tentu kebanggaan dan tempat bersenang-senang. Pemandangan kanak-kanak, bertelanjang bulat berenang di “kolam” Bundaran Besar –seperti diceritakan dalam novel  berjudul  “Rumah di Atas Kahayan,” hal yang jamak terlihat pada 1970-an.

Tapi, zaman telah berubah. Patung itu seperti tak bermakna, kerdil. Berpuluh tahun lalu, ia berdiri di tengah air, kini tidak, genangan air yang bening lenyap menjadi daratan, dan mengesankan kumuh.

Ibu kota memerlukan simbol lebih memikat. Jika Bundaran Besar dipugar, direnovasi, dan dijadikan landmark kota dengan  tugu yang lebih modern, yang kita harapkan tentu sebuah bangunan yang mencerminkan dan juga tetap menjadi penyemagat warga.

Ia semestinya bukan sebuah tugu yang dingin tapi juga menjadi tempat di mana pengetahuan itu mengalir: menyediakan tempat untuk warga belajar, mengenal sejarah dan nilai-nilai pluralisme yang kental di Kalimantan Tengah, dan juga sebagai sarana  berekreasi.

Kita percaya para arsitek yang memenangkan lomba merancang tugu pengganti tugu sekarang paham apa makna sebuah landmark kota. Kita menunggu bangunan itu jadi –dan semoga itu membuat warga kota bangga dan senang. (Dhanny)