Rektor

Ilustrasi (PNGWing)

Rektor itu arti harafiahnya “guru.” Di banyak negara, termasuk Indonesia, rektor juga merujuk pada pimpinan tertinggi sebuah perguruan tinggi. Untuk sejumlah negara lain, termasuk Amerika Serikat, pimpinan tertinggi sebuah perguruan tinggi disebut “president.”

Baca juga: Hadiri KUC, UMPR Dukung Pembangunan IKN

Kesamaannya satu: ia “guru,” “intelektual,” “cendekiawan,” sebuah  predikat yang bersamanya juga melekat kepercayaan publik pada nilai moral yang dimiliknya.

Karena itu tak terbayangkan jika ada rektor yang rakus dengan kebendaan, yang serakah menggunakan posisinya untuk meraup uang, yang menyalahgunakan jabatannya demi kepentingan pribadi.

Selama bertahun-tahun sistem penerimaan mahasiswa kita, yang memiliki jalur mandiri, telah membuka celah bagi rektor yang serakah dan berjiwa korup memanfaatkannya. Caranya: dengan menciptakan mekanisme rektor sebagai penentu untuk bisa diterima atau tidaknya seorang calon mahasiswa.

Di sini lalu hukum ekonomi itu muncul. Permintaan besar, sarana terbatas, dan tawaran tertinggi pun berkelindan. Dalam situasi ini maka suap itu terjadi dan Rektor Universitas Negeri Lampung, Karomani, dicokok Komisi Pemberantasan Korupsi. Ia diduga menerima uang suap dalam kaitan penerimaan melalui jalur mandiri ini. 

Karomani tak sendiri. Sejumlah staf dan pejabat rektorat universitas negeri itu juga ditangkap karena dinilai terlibat kasus memalukan ini. Ada mekanisme yang melibatkan banyak orang untuk menjadikan jalur mandiri itu sebagai “bisnis”  tawar menawar dan kita  tak tahu ke mana uang-uang itu mengalir: berapa masuk kas universitas, berapa masuk kantung  para intelektual kampus bermental korupsi.

Bisa jadi bisnis suap jalur mandiri ini tak hanya ada di Universitas Lampung. Karomani hanya bernasip apes. Modus serupa atau nyaris serupa terjadi juga pada banyak universitas. Kementerian Pendidikan mesti segera bertindak dan masyarakat yang menjadi korban tak perlu ragu melapor. (LR. Baskoro)