TV DIGITAL

Ilustrasi (PNGEgg)

SUDAH lama para pemilik TV kita menjejalkan kemauannya pada masyarakat. Menjelang pemilu iklan-iklan partai politik mereka tiap saat muncul di layar kaca: memuakkan. Mendekati “hari H” iklan-iklan itu makin gencar. Wajah-wajah para pemilik TV yang juga tokoh partai tiap detik muncul. Publik tak berdaya dan hanya bisa memaki.

Baca juga: Kepala Diskominfosantik Agus Siswadi : Pendistribusian STB Harus Tepat Sasaran dan Tepat Waktu

Televisi yang selama ini kita tonton sesungguhnya menggunakan saluran milik publik –yang dalam hal ini artinya “negara.”  Karena itu semestinya tidak bisa digunakan sesuka hatinya apalagi demi kepentingan politik. Televisi telah menjadi salah satu medium paling penting dalam kampanye politik. Itu sebabnya tak heran para pemilik stasiun televisi menggunakan kekuatan medianya tersebut  –jika ia pemimpin partai- untuk mempopulerkan dan mendongkrak elektabilitas suara partainya.

Putusan pemerintah bahwa TV analog –yang selama ini kita tonton- pindah ke TV digital sudah benar. Dengan cara ini, maka hak sepenuhnya mereka para pemimpin partai politik yang selama ini memiliki TV analog untuk “membentuk” apa pun siaran TV digitalnya. Tentu dengan risiko yang ditanggung sendiri karena tidak seperti televisi analog,  para penonton TV digital akan berpikir sejuta kali jika ia berlangganan atau menonton sebuah televisi yang acaranya sejak subuh hingga tengah malam  hanya mars sebuah partai politik yang membosankan.

Sebenarnya bisa dikatakan terlambat migrasi TV kita dari analog  ke digital. Pemerintah sesungguhnya sudah mencanangkan hal ini sejak dulu. Tapi niat ini kandas karena kekuatan-kekuatan yang menghendaki tipe analog tetap eksis dengan tujuan demi kepentingan politik. Sekarang pun perlawanan itu tetap terlihat.

Kita mengharap masyarakat kita kritis dan paham bahwa TV analog, yang besar dan sebagian dimiliki sejumlah tokoh politik itu, akan menjadi corong kepentingan  para pemiliknya –menjelang pilpres 2024. Satu-satunya cara mereka mempertahankan TV analog adalah menyatakan TV seperti itu dibutuhkan publik yang belum siap beralih ke digital dan harus membeli peralatan jika ingin menikmati  TV digital. Argumentasi mengatasnamakan rakyat yang seolah benar dan bernurani. (LR. Baskoro)