Media

Ilustrasi (geotimes.id)

Ada teori perihal hubungan orang dengan media yang disebut Media Dependency Theori. Dalam bahasa Indonesia, “Teori Ketergantungan Media.”

Baca juga: Media Berperan Penting dalam Mencerdaskan Bangsa

Para ahli komunikasi sudah mahfum soal teori yang dikembangkan oleh Melvin Defluer dan Sandra Ball Roceach sekitar 40 tahun silam. Sudah demikian lama, tetapi hingga kini kebenarannya tak bisa disangkal.

Inilah teori yang menjelaskan bagaimana semakin “kerasnya” dan membabi butanya” seseorang dalam kaitan dengan media. Secara singkat demikian: seseorang yang telah cocok dengan sebuah media  -atau beberapa media- maka ia nyaman dengan media tersebut. Ia tidak akan berpaling pada media lain karena baginya kebenaran –juga informasi yang ia yakini-  ada pada media tersebut. Demikian, maka muncul “ketergantungan pada media”. Pada media, selalu ada “kebijakan redaksi dan politik redaksi” yang tentu saja memiliki tujuan jelas siapa sasaran pembaca mereka: mahasiswa, guru, awam, para pemeluk agama, para kelas menengah dan seterusnya.

Pada era internet –dengan kecanggihan algoritma- Media Dependency Theori semakin mendapat tempatnya. Itu karena sistem algoritma yang dipakai plafon media seperti Google, Facebooks dan lain-lain dengan  kecerdasan buatan  -Artificial Intelligence (AI)-  telah mencatat dan mendokumentasikan apa saja kesukaan atau minat seseorang atas sesuatu hal: benda, seks, kecenderungan politik, kecenderungan agama, kuliner, dan seterusnya.

Pada titik inilah maka tanpa sadar para pengguna internet dihujani berbagai informasi apa yang selama ini ia minati. Ini akan terus tenggelam dalam apa yang ia minati –yang ia “gilai”- tanpa memiliki lagi keinginan untuk berpaling pada media lain. Singkatnya: kehilangan sifat kritis, kehilangan sifat “mencurigai” pada hal apa pun yang sesungguhnya diperlukan untuk perkembangan peradaban.

Media menjadi berkuasa dan terus menambah informasi –yang bisa saja itu hal kebohongan atau berlebihan- demi memuaskan pembacanya yang telah tergantung pada dirinya. Dengan teori ini maka bisa dijelaskan bagaimana mereka yang memiliki hoby bacaan porno atau melihat gambar-gambar porno akan mendapat kiriman atau dengan mudah memperoleh situs-situs semacam ini. 

Sistem algoritma AI dengan  cepat menyediakan. Juga, misalnya, mereka yang rajin membaca segala hal tentang radikalisme, maka ia akan tergantung pada media dan media akan terus menghujaninya dengan segala informasi yang memuaskan minatnya. Ingat: memuaskan minatnya. Pada titik ini bedanya pornografi dan radikalisme. Pemerintah bisa men-takedown situs pornografi, namun situs radikalisme –sejauh hanya pikiran, ucapan, dan bukan tindakan- ia tidak segampang itu untuk di-takedown. (Baskoro)